Batang, Pelopornews.co.id – Polemik keberadaan perusahaan penempatan pekerja migran di Kabupaten Batang kembali mencuat. Kali ini, PT Satria Karya Pancasona (SKP) yang beralamat di Jl. Urip Sumoharjo No.14 RT 01 RW 05 Kelurahan Sambong, Batang, menjadi sorotan lantaran diduga belum mengantongi Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Sabtu (23/8/2025)
Direktur Utama PT SKP, Sugiyanto alias Gepeng, mengaku bahwa perusahaannya telah lama berhenti beroperasi bahkan mengalami kebangkrutan. Saat dihubungi awak media melalui sambungan telepon pada Kamis (20/8/2025), ia menegaskan kondisi perusahaannya yang sudah tidak aktif.
“Perusahaan saya sudah lama tutup mas, alias bangkrut. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, motor saja saya gak punya,” ungkap Sugiyanto.
Ia menambahkan bahwa lebih dari setahun terakhir PT SKP tidak lagi melakukan perekrutan maupun pemberangkatan Anak Buah Kapal (ABK) ke luar negeri. Menurutnya, lesunya pasar kerja di Taiwan menjadi salah satu penyebab utama.
“Saya sudah lama tidak beroperasi mas, tidak memberangkatkan ABK keluar negeri karena di Taiwan job-nya sepi, tidak seperti dulu. Saat ini saya hanya mengurusi pembayaran gaji ABK karena sistem penerimaan gajinya masih lewat PT saya,” jelasnya.
Namun, informasi berbeda muncul dari warga sekitar lokasi kantor. Menurut penuturan sejumlah tetangga, aktivitas di kantor PT SKP masih terlihat berjalan seperti biasa.
“Setiap hari Senin sampai Jumat, kantor itu tetap buka, ada orang yang keluar-masuk. Jadi kelihatannya masih ada aktivitas,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik terkait transparansi operasional perusahaan yang belum mengantongi izin resmi SIP3MI tersebut. Terlebih, kebijakan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menegaskan bahwa setiap perusahaan penempatan pekerja migran wajib memiliki izin sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Program SIP3MI juga dinilai penting untuk menjamin hak-hak pekerja, khususnya terkait perlindungan gaji dan kesejahteraan ABK. Namun, di sisi lain, banyak perusahaan dengan modal kecil mengaku kesulitan untuk memenuhi persyaratan perizinan tersebut. (Edy)