Purwakarta, pelopornews.co.id – Kembali menjadi sorotan terkait pengelolaan regulasi daerah. Dua Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2019 tentang Kepemudaan dan Perda No. 7 Tahun 2020 tentang Desa, dinilai bermasalah karena tidak dijalankan amanatnya dan mengandung cacat formil.
Demikian disampaikan Agus M. Yasin, mantan anggota DPRD Kabupaten Purwakarta, yang kini dikenal pengamat kebijakan publik, kepada media ini, Kamis malam (14/8/2025).
Lebih lanjut Agus katakan, Meski demikian, tidak ada upaya revisi maupun pembatalan dari pihak legislatif maupun eksekutif daerah.
Menurut pengamat kebijakan publik tersebut, fenomena ini menunjukkan lemahnya komitmen penyelenggara pemerintahan daerah terhadap fungsi hukum.
“Perda yang tidak dijalankan hanya menjadi hiasan lembaran daerah, bukan instrumen yang melindungi kepentingan publik,” ujarnya.
Cacat Formil dan Pengabaian Amanat Perda, Secara teori hukum, Perda yang tidak dijalankan sama saja dengan pemborosan anggaran dan pengkhianatan mandat rakyat.
Sementara cacat formil membuat regulasi tidak sah sejak awal. Dugaan pelanggaran mencakup minimnya uji publik, naskah akademik seadanya, hingga tidak patuh pada tata cara penyusunan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022.
Dalam kondisi seperti ini, pembatalan atau revisi menjadi langkah yang mestinya diambil. Namun di Purwakarta, kedua Perda tersebut justru dibiarkan “membusuk dalam diam”.
DPRD dan Pemkab Kompak Diam, Fungsi koreksi regulasi ada di tangan DPRD sebagai pengawas dan Kepala Daerah sebagai pengusul revisi atau pencabutan. Sayangnya, kedua institusi ini dinilai “sepakat” untuk tidak menindaklanjuti masalah tersebut. Tidak ada legislative review, tidak ada inisiatif revisi, apalagi pencabutan.
“Kalau regulasi dibuat melanggar prosedur lalu tetap dijalankan, apa yang menjamin aturan itu adil dan sah?” tegas M. Yasin.
Hukum Jadi Formalitas, Fenomena ini mencerminkan kebiasaan membuat Perda hanya untuk memenuhi target legislasi, bukan untuk dijalankan. Lembaran daerah pun menjadi “etalase kepustakaan” indah di atas kertas, kosong di lapangan.
Bahaya terbesarnya adalah publik dipaksa tunduk pada aturan yang rapuh secara hukum.
Jalur Hukum Terbuka, M. Yasin mengingatkan, jika DPRD dan Pemkab tetap membisu, publik masih memiliki opsi uji materiil ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Perda bermasalah.
“Hukum daerah hanya punya makna jika hidup di tengah masyarakat. Kalau tidak, ia hanya menjadi fosil yang menghabiskan anggaran tapi tak berguna,” pungkas Agus. (aan)