Jakarta – Pelopornews.co.id – Aksi Mahasiswa yang melakukan Demonstrasi melahirkan era reformasi tahun 1998 dan mendesak ABRI merombak struktur internal organisasi.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengganti nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia, kemudian diikuti dengan langkah melikuidasi beberapa organisasi di TNI seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, melikuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta melikuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi yang bersifat demokrasi kemudian membuat peran ABRI di perwakilan rakyat DPR dikurangi secara bertahap dari semula yang berjumlah 75 menjadi 38 anggota, selain itu juga muncul regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional yang baru yaitu berupa pemisahan TNI dan POLRI pada April 1999 yang tertuang di dalam TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang peran dan tugas TNI dan POLRI dengan tujuan agar tindakan POLRI menjadi profesional tanpa harus khawatir dengan adanya intervensi dari kepentingan militer.
Masa reformasi juga mengurangi kedigdayaan Angkatan Darat (AD) dalam TNI yang saat Orde Baru Berkuasa jabatan strategis selalu diisi oleh TNI dari Angkatan Darat salah satunya jabatan Panglima TNI. Pergantian itu dilakukan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Namun saat Presiden dipegang oleh Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari TNI Angkatan Darat. Namun Di penghujung pemerintahan Megawati, Megawati Mengesahkan Undang-undang TNI tentang panglima TNI yang harus dijabat secara bergantian.
Dengan adanya regulasi yang membatasi militer didalam politik yang sudah diterapkan, banyak para anggota TNI yang memilih jalan lain untuk berperan dalam politik yaitu dengan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Ini dapat dilihat pada pilkada tahun 2004 yang diikuti oleh banyak anggota TNI yang sudah pensiun maupun yang masih aktif. Fenomena seperti ini karena disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertama regulasi politik yang masih belum sempurna dan memberi peluang kepada anggota TNI yang masih aktif untuk mengikuti pilkada dengan status anggota TNI non aktif sementara, meski dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan setiap anggota TNI aktif dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pilkada dan jabatan politis lainnya. Kedua kegagalan TNI dalam merubah paradigma TNI pasca reformasi 1998 mengenai ”TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat, paradigma ini cenderung disalahartikan sebagai hubungan sipil dan militer dalam pertahanan negara. Sehingga dengan paradigma seperti itu TNI merasa selain berperan dalam pertahanan negara mereka juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ketiga sedikitnya minat rakyat sipil yang mencalonkan kader partai politik dan Lemahnya partai dalam mencetak kader yang berkualitas, sehingga membuat partai politik berlomba-lomba mencari kader dari TNI yang sudah dikenal luas oleh masyarakat.
Peluang ini jelas dinantikan oleh para anggota militer yang mempunyai ambisi untuk bergabung ke dalam politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi yang memangkas tradisi politik TNI. (Arief_Opini Politik)
