Sidoarjo – Pelopornews.co.id – Kamis, 23 Oktober 2025 Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan Samsat Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kembali mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan publik.
Hasil investigasi lapangan yang dilakukan oleh sejumlah awak media menunjukkan adanya indikasi kuat kolusi antara calo dan oknum petugas Samsat dalam melakukan pungutan di luar ketentuan resmi yang berlaku. Praktik ini diduga telah berjalan secara sistematis dan berulang, sehingga menimbulkan keresahan serta menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, ditemukan sejumlah bentuk pungutan tambahan pada layanan yang seharusnya bebas biaya atau telah memiliki tarif resmi berdasarkan ketentuan pemerintah. Beberapa di antaranya meliputi:
Cek fisik kendaraan tanpa kehadiran kendaraan (by system): Rp150.000 untuk roda dua maupun roda empat.
Biaya tambahan tanpa formulir resmi: Rp35.000 untuk roda empat, dan Rp25.000 untuk roda dua.
Biaya pemblokiran tanpa kwitansi resmi: Rp50.000 untuk semua jenis kendaraan.
Verifikasi dokumen tanpa kwitansi resmi: Rp35.000 untuk roda empat, dan Rp25.000 untuk roda dua.
Percepatan penerbitan BPKB: Rp400.000 untuk roda dua dan roda empat.
Pengurusan pajak lima tahunan tanpa KTP pemilik dan tanpa surat kuasa: Rp180.000 untuk roda empat, dan Rp125.000 untuk roda dua.
Pengurusan pajak lima tahunan tanpa BPKB asli dengan surat leasing: Rp1.800.000 untuk roda empat, dan Rp1.300.000 untuk roda dua.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan resmi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), biaya pengurusan BPKB seharusnya hanya sebesar Rp300.000 untuk kendaraan roda empat dan Rp160.000 untuk kendaraan roda dua. Perbedaan signifikan antara tarif resmi dan pungutan lapangan ini memperkuat dugaan adanya praktik pungli yang dilakukan secara terorganisir dan tidak transparan.
Fakta tersebut mencerminkan adanya penyimpangan serius dalam tata kelola pelayanan publik, terutama di tingkat pelaksanaan teknis. Dugaan keterlibatan oknum aparatur negara dan pihak ketiga menjadi tanda bahaya terhadap integritas lembaga pelayanan publik, sekaligus mengancam keberlanjutan program reformasi birokrasi yang tengah digalakkan pemerintah.
Apabila dugaan ini terbukti benar, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN); dan
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pungutan liar yang dilakukan oleh aparatur negara bukan hanya mencederai etika profesi, tetapi juga merupakan tindak pidana yang berimplikasi langsung terhadap stabilitas kepercayaan publik dan kredibilitas institusi pemerintah. Jika tidak segera ditindaklanjuti, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi di tingkat daerah.
Menanggapi hal tersebut, masyarakat mendesak agar Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryo Nugroho serta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera turun tangan untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan praktik pungli di Samsat Krian. Langkah tegas dan transparan sangat diperlukan guna menindak para oknum yang terlibat dan memastikan penegakan hukum berjalan adil tanpa pandang bulu.
Salah satu warga yang enggan disebut namanya menyampaikan harapan agar pimpinan kepolisian segera mengambil tindakan cepat.
> “Kami sangat berharap pimpinan Polri segera turun tangan. Jangan sampai citra institusi kepolisian dan pelayanan publik tercoreng hanya karena segelintir oknum yang menyalahgunakan kewenangan,” ujarnya kepada wartawan.
Selain langkah hukum, para pemerhati kebijakan publik menilai bahwa reformasi sistem pelayanan digital di lingkungan Samsat harus segera dipercepat. Digitalisasi proses administrasi, sistem antrean daring, pembayaran non-tunai, serta publikasi terbuka mengenai biaya dan prosedur menjadi solusi strategis untuk menutup celah terjadinya praktik pungli.
Pemerintah juga diharapkan memperkuat pengawasan internal dan eksternal melalui Inspektorat, Unit Pemberantasan Pungli (UPP Saber Pungli), dan Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, agar setiap laporan masyarakat dapat segera ditindaklanjuti secara transparan.
Kasus dugaan pungli di Samsat Krian ini menjadi cerminan nyata bahwa pengawasan birokrasi dan integritas aparatur negara harus diperkuat secara berkelanjutan, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di lini pelayanan daerah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Pemberantasan pungli bukan semata-mata upaya penegakan hukum, tetapi juga bagian dari pembangunan budaya kerja bersih dan berintegritas dalam tubuh pemerintahan. Melalui komitmen yang kuat, tindakan tegas, dan inovasi digital, diharapkan pelayanan publik ke depan dapat benar-benar menjadi cerminan pemerintahan yang profesional, transparan, dan berpihak pada rakyat.
(Hendrik/ifl)
