Berita

Sarat Nepotisme, Perangkat Desa Mojodadi Kedungpring Rangkap Jabatan Ketua Poktan


Penulis : Redaksi Pelopornews

Sarat Nepotisme, Perangkat Desa Mojodadi Kedungpring Rangkap Jabatan Ketua Poktan

Lamongan, Pelopornews – Dugaan pelanggaran administratif rangkap jabatan perangkat desa dengan Ketua Poktan, ternyata tidak hanya terjadi di Kecamatan Babat saja, melainkan terjadi pula di sejumlah wilayah di Kabupaten Lamongan.

Hal serupa, juga terjadi di Desa Mojodadi Kecamatan Kedungpring, tepatnya di Dusun Takeran. Namun miris, di dusun tersebut rangkap jabatan merupakan hal yang biasa dan dianggap boleh.

“Saya hanya menjalankan perintah saja dari Pak Kades. Saat itu, ketua poktan kosong dan sama Pak Kades saya diangkat jadi ketuanya.” ungkap Bambang, Kepala Dusun Takeran yang merangkap menjadi Ketua Poktan dusun setempat, rabu (10/9/25).

Pengangkatan dirinya menjadi ketua poktan, masih menurut Bambang, sebelum dirinya menjadi ketua pada tahun 2014, ketua poktan dusun tersebut adalah kakak iparnya yakni Sunaryono yang sekaligus adalah Kepala Dusun Takeran. Dan pada tahun itu, Sunaryono mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Desa Mojodadi dan berhasil menang.

“Pada tahun 2014 itu, saat kakak ipar saya terpilih menjadi kepala desa kemudian saya yang menggantikan menjadi Kasun Takeran sekaligus merangkap sebagai Ketua Poktan karena kosong,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Desa Mojodadi Sunaryono menanggapi santai permasalahan tersebut. Meski dirinya mengakui jika adik iparnya yang menjadi Kepala Dusun menggantikan posisi dirinya sebelum terpilih sebagai Kepala Desa juga merangkap sebagai Ketua Poktan. Sama persis dengan perjalanan karir yang dilaluinya sebelum menjabat sebagai kades.

“Kalau memang rangkap jabatan Kasun dan Ketua Poktan itu tidak boleh, besok saya akan konsultasi dulu ke Pak Camat,”ungkap Sunaryono singkat.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 51, perangkat desa dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau menguntungkan diri sendiri dan golongan tertentu.

Larangan ini diperkuat oleh aturan turunan yang dijelaskan dalam regulasi perangkat desa, yang menyebutkan bahwa rangkap jabatan termasuk menjadi pengurus organisasi yang menerima insentif dari sumber keuangan yang sama adalah pelanggaran administratif.

Jika terbukti melanggar, perangkat desa dapat dikenai sanksi administratif berupa, teguran lisan, teguran tertulis, bahkan pemberhentian dari jabatan jika pelanggaran dianggap berat dan berulang.

Praktik rangkap jabatan seperti yang diduga dilakukan oleh Sutari berpotensi melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan desa. Terlebih jika jabatan tersebut berkaitan dengan pengelolaan anggaran atau program bantuan yang bersumber dari dana desa maupun APBN.

Kasus ini membuktikan pentingnya pengawasan terhadap struktur organisasi desa dan kelompok masyarakat penerima manfaat. Pemerintah daerah, inspektorat, dan dinas terkait diharapkan segera melakukan klarifikasi dan audit internal agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Masyarakat berhak mengetahui siapa saja yang memegang jabatan publik dan bagaimana jabatan tersebut dijalankan sesuai aturan. Transparansi bukan hanya soal data, tapi juga soal kepercayaan. (Timsus)

Leave a Reply

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE