Pekalongan, Pelopornews.co.id — Duka mendalam menyelimuti keluarga Pelda Riyadi, anggota Intel Korem 071/Wijayakusuma Banyumas. Putra sulungnya, Abraham Radith, meninggal dunia pada 9 Mei 2025 pukul 20.30 WIB di salah satu rumah sakit negeri di Kota Semarang setelah lebih dari lima tahun berjuang melawan kanker darah (leukemia).
Namun tragisnya, bukan hanya penyakit yang merenggut nyawa Abraham. Keterlambatan kemoterapi yang berulang kali terjadi akibat kebijakan tidak jelas dari rumah sakit justru menjadi sorotan utama.
“Selama lima tahun, anak saya bisa menjalani perawatan dan kemoterapi. Tapi sejak Maret 2025, tiba-tiba prosedur berubah. Alasannya karena ada kebijakan ‘satu pasien satu tindakan’ dari BPJS. Kami diminta pulang dulu setelah perbaikan kondisi, baru bisa daftar lagi untuk kemoterapi,” tutur Pelda Riyadi di Kota Pekalongan, Minggu (15/6/2025).
Kebijakan Misterius: RS dan BPJS Saling Lempar
Kebijakan “satu pasien satu tindakan” menjadi sumber kebingungan dan frustrasi. Menurut pengakuan Riyadi, seluruh dokter dan tenaga medis menyebut kebijakan tersebut berasal dari BPJS Kesehatan, namun setelah diklarifikasi, pihak BPJS justru membantah.
“BPJS bahkan memberikan surat pernyataan resmi, bahwa mereka tidak pernah membuat kebijakan itu untuk layanan kemoterapi. Tapi pihak rumah sakit juga tidak mau memberikan pernyataan tertulis serupa. Hanya bicara secara diplomatis,” jelasnya.
Kronologi: Kemo Ditunda, Kondisi Memburuk
Kronologi tragis bermula saat Abraham seharusnya menjalani kemoterapi pada 27 Maret 2025, namun karena ruang perawatan penuh, ia harus menunggu panggilan dari TPPRI (Tempat Penerimaan Pasien Rawat Inap). Pada 4 April 2025, kondisi Abraham memburuk dan dilarikan ke IGD.
Setelah menjalani perbaikan kondisi dan laboratorium membaik, Abraham tidak langsung mendapat tindakan kemoterapi, tetapi justru diperintahkan pulang oleh dokter karena kebijakan tersebut.
“Setiap kali anak kami pulih dan siap kemo, kami diminta pulang. Harus mendaftar ulang ke poli onkologi anak, menunggu lagi, lalu kondisi anak kembali drop,” ungkap Riyadi.
Puncaknya terjadi pada 3 Mei 2025, ketika Abraham akhirnya mendapat kemoterapi yang tertunda. Namun, kondisinya sudah memburuk. Enam hari kemudian, pada 9 Mei 2025, Abraham menghembuskan napas terakhir di ruang isolasi rumah sakit.
Keluarga Tuntut Kejelasan dan Reformasi Sistem
Merasa ada yang tidak beres, keluarga menggandeng kuasa hukum dan mendesak klarifikasi resmi dari rumah sakit. Namun hingga kini, dokumen yang diberikan rumah sakit tidak menyatakan secara tegas bahwa mereka tidak pernah menerapkan kebijakan “satu pasien satu tindakan”.
“Kami hanya ingin kejelasan. Siapa sebenarnya yang membuat kebijakan itu? Anak saya meninggal karena sistem yang tidak jelas dan lempar tanggung jawab. Kami tidak ingin ada korban berikutnya,” tegas Riyadi.
Keluarga juga menuntut:
1. Surat resmi dari rumah sakit yang menyatakan tidak pernah menerapkan kebijakan “satu pasien satu tindakan” untuk kemoterapi pasien leukemia.
2. Investigasi internal guna mengungkap siapa pihak yang menyebarkan kebijakan ini ke tenaga medis, khususnya di lantai dasar dan lantai 1 rumah sakit.
3. Jaminan agar tidak ada pasien lain yang mengalami kejadian serupa di masa depan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak rumah sakit telah mengirimkan dokumen kepada keluarga Pelda Riyadi, namun belum memuat pernyataan eksplisit soal kebijakan dimaksud. Pihak BPJS sendiri telah menegaskan tidak pernah mengeluarkan kebijakan “satu pasien satu tindakan” untuk layanan kemoterapi.
Awak media akan terus menelusuri kasus ini dan mengawal permintaan keadilan keluarga korban hingga tuntas. (Edy)